BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Perkembangan Kepribadian,
Sosial dan Moral
Kepribadian
adalah bagian dari jiwa yang membangun keberadaaan manusia menjadi satu
kesatuan, tidak terpecah-pecah dalam fungsi-fungsi. Memahami kepribadian
berarti memahami aku, diri, self atau memahami manusia seutuhnya. Hal
terpenting yang harus diketahui berkaitan dengan pemahaman kepribadian adalah
bahwa pemahaman itu sangat dipengaruhi paradigma yang dipakai sebagai acuan
untuk mengembangkan teori itu sendiri. Para ahli kepribadian ternyata meyakini
paradigma yang berbeda-beda, yang mempengaruhi secara sistematik seluruh pola
pemikirannya tentang kepribadian manusia. Paradigma itu pada sebagian ahli
kepribadian dikemukakan dengan tegas, pada sebagian yang lain paradigmanya
tersamar dan dikenali melalui metode analisisnya (Alwisol, 2007).
Perkembangan
ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakansuatu
proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan
pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat
dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya
merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya
akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran
norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku
moral yang diperlukan.
Seperti
dalam proses perkembangan yang lannya, proses perkembangan sosial dan moral
selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil
perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya
belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan
masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan
siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral,
agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yangberlaku dalam
masyarakat.
Dalam dunia
psikologi belajar terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan
dengan perkembangan moral. Diantara ragam mazhab perkembangan sosial ini paling
menonjol dan layak dijadikan rujukan adalah:
1. Aliran
teori Cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan
Lawrence Kohlberg.
2. Aliran
teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan
R.H Walters.
Pada
tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan penelitia yang mana pada
penelitiannya setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan
perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu teori perkembangan moral adalah teori
menurut Kohlberg.
Perkembangan
sosial dengan perkembangan moral merupakan dua hal yang saling berkaitan.
Muhibbin Syah (2010; 75) memberikan pandangannya tentang keterkaitan tersebut
bahwa perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah
laku sosial. Misalnya, seorang siswa hanya akan mampu berperilaku sosial
tertentu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang
diperlukan untuk situasi sosial tersebut.
Perkembangan
moral yang berhasil dapat dilihat dari perilaku moral, sedangkan yang gagal
dilihat dari perilaku amoral dan perilaku tidak bermoral. Perilaku moral adalah
perilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat atau sosial yang berkaitan
dengan tata cara, kebiasaan atau adat-istiadat. Perilaku moral adalah perilaku
yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat disebabkan karena acuh atau tidak
memahami aturan masyarakat. Sedangkan perilaku tidak bermoral adalah tingkah
laku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat sebagai akibat dari
ketidaksetujuannya terhadap aturan masyarakat atau bentuk protes terhadap
masyarakat (sengaja melanggar).
B. Tokoh Teori Perkembangan
Kepribadian, Sosial dan Moral
§ Tokoh Teori Perkembangan Kepribadian
1. Sigmund Freud
Freud adalah
teoritisi pertama yang memusatkan perhatiannya kepada perkembangn kepribadian
dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan awal-anak dalam membentuk
karakter seseorang. Freud yakin bahwa struktur dasar kepribadian sudah
terbentuk pada usia 5 tahun dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5 tahun
sebagian besar hanya merupakn elborasi dari struktur dasar tadi. Anehnya, Freud
jarang sekali meneliti anak secara langsung. Dia mendasari teorinya dari
analisis mengeksplorasi jiwa pasien antara lain dengan mengembalikan mereka ke
pengalaman masa kanak-kanaknya.
Freud
membagi perkembangan kepribadian menjadi 3 tahapan yakni tahap infatil (0 – 5
tahun), tahap laten (5 – 12 than) dan tahap genital (> 12 tahun). Tahap
infatil yang faling menentukan dalam membentuk kepribadin, terbagi menjadi 3
fase, yakni fase oral, fase anal, dan fase falis. Perkembangan kepribadian
ditentukan oleh perkembangan insting seks, yang terkait dengan perkembangan bilogis,
sehingga tahp ini disebut juga tahap seksual infatil. Perkembangan insting seks
berarti perubahan kateksis seks dan perkembangan bilogis menyiapkan bagian
tubuh untuk dipilh menjadi pusat kepuasan seksul (arogenus zone). Pemberian
nama fase-fase perkembangan infatil sesuai dengan bagian tubuh daerah
erogen-yang menjadi kateksis seksual pada fase itu. Pada tahap laten, impuls
seksual mengalami represi, perhatian anak banyak tercurah kepada pengembangan
kognitif dan keterampilan. Baru sesudah itu, secara bilogis terjadi
perkembangan puberts yang membangunkan impuls seksual dari represinya untuk
berkembang mencapai kemasakan. Pada umumnya kemasakan kepribadian dapat dicapi
pada usia 20 tahun (Anonim, 2010).
2. Carl Gustav Jung
Perkembangan
kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung lebih lengkap dibandingkan
dengan Freud. Jung beranggapan bahwa semua peristiwa disebabkan oleh sesuatu
yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian sekarang ditentukan oleh
tujuan (purpose). Prinsip mekanistik akan membuat manusia menjadi sengsara
karena terpenjara oleh masa lalu. Manusia tidak bebas menentukan tujuan atau
membuat rencana karena masa lalu tidak dapat diubah. Sebaliknya, prinsip
purposif memubat orang mempunyai perasan penuh harapan, ada sesuatu yang
membuat orang berjuang dan bekerja. Dari keduanya dapat diambil sisi
positifnya, kegagalan di masa lalu bukan dijadikan beban tapi dijadikan
pengalaman yang kemudian digunakan sebagai stimuli untuk belajar lebih baik
dari kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan seseorang harus memiliki
angan, impian dan harapan, hal inilah yang kemudian mengarahkan pada tujuan
yang akan diraih di masa mendatang.
Tahap-tahap
perkembangan menurut Jung terdiri atas 4 tahap. Hal tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Usia anak (Childhood).
Usia anak dibagi menjadi 3 tahap, yakni anarkis pada anak kesadaran masaih
kacau pada usia 0-6 tahun, tahap monarkis yakni anak ditandai dengan
perkembangan ego, mulai berfikir verbal dan logika pada usia 6-8 tahun, tahap
dualistik yakni anak dapat berfikir secara obyektif dan subyektif terjadi pada
usia 8-12 tahun.
2. Usia Pemuda.
Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya.
3. Usia
Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan, kawin, punya anak dan ikut dalam
kegiatan sosial.
4. Usia Tua.
Fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara tak sadar, fikiran dan kesadaran ego
mulai tenggelam (Anonim, 2010).
3. Erik H. Erikson
Teori Erikson
dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada
tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat
representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang
merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan
pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam
lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan
secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan
sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam
perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui
teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai
perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami
persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern
seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk
menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan,
baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson
dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa
pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan
oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian
atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan
kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya
ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering
meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu
pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan
dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian
yang diajukan oleh Freud.
Bagi
Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara
kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial.
Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah
ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti
bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan
dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan
genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga
dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan
sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari
teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai
perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan
secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam
setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic
Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson
mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan
prinsip epigenetik. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah
rangkaian kata yaitu: (1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian
manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga
pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong,
mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk
memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna
berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat
berdasarkan dari perpindahan di dalam tahap-tahap yang ada (Mariani, 2008).
Tokoh Teori Perkembangan Sosial dan Moral
1. Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Menurut
teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama
pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg
mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan
Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan
wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi
serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral.
Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa
seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat
yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium
yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya
membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X
lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia
membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke
setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat
mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu
apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual
obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi
sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan
uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri
obat bagi istrinya.”
Cerita ini
adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk
menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang
menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral.
Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah?
Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang
diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain.
Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat
perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci
untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah
internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan
secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori
Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan
6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut:
Tingkat
Satu: Penalaran Prakonvensional
Penalaran
Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan
moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi
nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan
hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain
(eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku
yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap I.
Orientasi hukuman dan ketaatan
Yaitu: tahap
pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan
anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap II.
Individualisme dan tujuan
Pada tahap
ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri.
Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk
kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik
dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua
: Penalaran Konvensional
Penalaran
Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana
seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka
tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau
aturan-aturan masyarakat.
Tahap III.
Norma-norma Interpersonal
Yaitu:
dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang
lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
Tingkat IV. Moralitas
Sistem Sosial
Yaitu:
dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial,
hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat
Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Yaitu: Suatu
pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan
tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal
tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian
memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V.
Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu:
nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat
berbeda dari satu orang ke orang lain.
Tahap VI.
Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu:
seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak
manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara
hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati (Rofiah, 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar